MAKALAH
PEMBERANTASAN
KORUPSI DI INDONESIA
Diajukan Sebagai
Tugas
Mata Kuliah
Pendidikan Pancasila
Semester Ganjil
Tahun Akademik 2013/2014
Dosen:
HOMAIDI, S.H.,
M.Hum
Oleh
:
Nama : Silvi Natalia Fadilatut Talcha
NIM : 1131410007
Kelas : 3B
POLITEKNIK
NEGERI MALANG
JURUSAN
TEKNIK KIMIA
PROGRAM
STUDI D3 TEKNIK KIMIA
MALANG
DAFTAR ISI
BAB 1 :
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
1.2 Alasan
Pemilihan Judul
1.3 Batasan
Masalah
1.4 Tujuan
BAB II :
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Asal Kata
dan Pengertian Korupsi
2.2 Gambaran umum tentang korupsi di Indonesia Dan
Jenis – Jenis Korupsi
2.3 Faktor pendorong terjadinya korupsi di Indonesia
BAB III :
PERMASALAHAN
3.1 Kinerja pemerintah dalam pemberantasan korupsi belum maksimal
3.3 Issu
Kasus Korupsi
3.3 Analisis
Pelanggaran Hukum, Nilai, Norma Dan Etika
A. Pelanggaran Berdasarkan Dengan Hukum Materil
B. Pelanggaran
Berdasarkan Dengan Hukum Pidana
C. Pelanggaran
Berdasarkan Nilai Dan Norma
D. Pelanggaran
Berdasarkaan Etika
3.4 Analisis
Kasus Dari Berbagai Perspektif
A.
Sosiologi Hukum
B.
Ekonomi Hukum
C.
Politik Hukum
BAB IV :
PEMBAHASAN
4.1 Kebijakan
Pemerintah Dalam Pemberantasan Korupsi
4.2 Peran
Serta Pemerintah dalam Memberantas Korupsi
4.3 Peran Serta
Mayarakat Dalam Upaya Pemberantasan Korupsi Di
Indonesia
4.4 Upaya – Upaya Yang Harus
Di Lakukan Dalam Pemberantasan Korupsi
Di Indonesia
4.5 Kendala/Hambatan-Hambatan
Apa Saja Yang Dihadapi
Pemberantasan Korupsi Di Indonesia
4.6 Upaya-Upaya
Apa Saja Yang Harus Dilakukan Dalam Memberantas
Korupsi Di Indonesia
BAB V :
PENUTUP
5.1 Simpulan
5.2 Saran
Daftar Pustaka
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Indonesia, sebagai
salah satu negara yang telah merasakan dampak dari tindakan korupsi, terus
berupaya secara konkrit, dimulai dari pembenahan aspek hukum, yang sampai saat
ini telah memiliki banyak sekali rambu-rambu berupa peraturan - peraturan,
antara lain Tap MPR XI tahun 1980, kemudian tidak kurang dari 10 UU anti
korupsi, diantaranya UU No. 20 tahun 2001 tentang perubahan UU No. 31 tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Kemudian yang paling
monumental dan strategis, Indonesia memiliki UU No. 30 Tahun 2002, yang menjadi
dasar hukum pendirian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ditambah lagi dengan
dua Perpu, lima Inpres dan tiga Kepres. Di kalangan masyarakat telah berdiri
berbagai LSM anti korupsi seperti ICW, Masyarakat Profesional Madani (MPM), dan
badan-badan lainnya, sebagai wujud kepedulian dan respon terhadap uapaya
pencegahan dan pemberantasan korupsi. Dengan demikian pemberantasan dan
pencegahan korupsi telah menjadi gerakan nasional. Seharusnya dengan sederet
peraturan, dan partisipasi masyarakat tersebut akan semakin menjauhkan sikap,dan
pikiran kita dari tindakan korupsi.
Masyarakat Indonesia bahkan dunia terus menyoroti upaya Indonesia dalam mencegah dan memberantas korupsi. Masyarakat dan bangsa Indonesia harus mengakui, bahwa hal tersebut merupakan sebuah prestasi, dan juga harus jujur mengatakan, bahwa prestasi tersebut, tidak terlepas dari kiprah KPK sebagai lokomotif pemberantasan dan pencegahan korupsi di Indonesia, yang didukung oleh masyarakat dan LSM, walaupun dampaknya masih terlalu kecil, tapi tetap kita harus berterima kasih dan bersyukur.
Berbagai upaya pemberantasan korupsi dengan IPK tersebut, pada umumnya masyarakat masih dinilai belum menggambarkan upaya sunguh-sunguh dari pemerintah dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Berbagai sorotan kritis dari publik menjadi ukuran bahwa masih belum lancarnya laju pemberantasan korupsi di Indonesia. Masyarakat menduga masih ada praktek tebang pilih dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Sorotan masyarakat yang demikian tajam tersebut harus difahami sebagai bentuk kepedulian dan sebagai motivator untuk terus berjuang mengerahkan segala daya dan strategi agar maksud dan tujuan pemberantasan korupsi dapat lebih cepat, dan selamat tercapai. Selain itu, diperlukan dukungan yang besar dari segenap kalangan akademis untuk membangun budaya anti korupsi sebagai komponen masyarakat berpendidikan tinggi .
Masyarakat Indonesia bahkan dunia terus menyoroti upaya Indonesia dalam mencegah dan memberantas korupsi. Masyarakat dan bangsa Indonesia harus mengakui, bahwa hal tersebut merupakan sebuah prestasi, dan juga harus jujur mengatakan, bahwa prestasi tersebut, tidak terlepas dari kiprah KPK sebagai lokomotif pemberantasan dan pencegahan korupsi di Indonesia, yang didukung oleh masyarakat dan LSM, walaupun dampaknya masih terlalu kecil, tapi tetap kita harus berterima kasih dan bersyukur.
Berbagai upaya pemberantasan korupsi dengan IPK tersebut, pada umumnya masyarakat masih dinilai belum menggambarkan upaya sunguh-sunguh dari pemerintah dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Berbagai sorotan kritis dari publik menjadi ukuran bahwa masih belum lancarnya laju pemberantasan korupsi di Indonesia. Masyarakat menduga masih ada praktek tebang pilih dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Sorotan masyarakat yang demikian tajam tersebut harus difahami sebagai bentuk kepedulian dan sebagai motivator untuk terus berjuang mengerahkan segala daya dan strategi agar maksud dan tujuan pemberantasan korupsi dapat lebih cepat, dan selamat tercapai. Selain itu, diperlukan dukungan yang besar dari segenap kalangan akademis untuk membangun budaya anti korupsi sebagai komponen masyarakat berpendidikan tinggi .
Sesungguhnya korupsi dapat dipandang sebagai fenomena politik, fenomena sosial, fenomena budaya, fenomena ekonomi, dan sebagai fenomena pembangunan. Karena itu pula upaya penanganan korupsi harus dilakukan secara komprehensif melalui startegi atau pendekatan negara/politik, pendekatan pembangunan, ekonomi, sosial dan budaya. Selama ini yang telah dan sedang dilakukan masih terkesan parsial, dimana korupsi masih dipandang sebagai fenomena negara atau fenomena politik. Upaya pencegahan korupsi di Indonesia juga harus dilakukan melalui upaya perbaikan totalitas system ketatanegaraan dan penanaman nilai-nilai anti korupsi atau nilai sosial anti korupsi/Budaya Anti Korupsi (BAK), baik di pemerintahan tingkat pusat mauapun di tingkat daerah. Korupsi sebagai fenomena negara, selama ini difahami sebagai fenomena penyalahgunaan kekuasaan oleh yang berkuasa.
Berdasarkan pengertian tersebut, korupsi di Indonesia difahami sebagai perilaku pejabat dan atau organisasi (negara) yang melakukan pelanggaran, dan penyimpangan terhadap norma-norma atau peraturan-peraturan yang ada. Korupsi difahami sebagai kejahatan negara (state corruption). Korupsi terjadi karena monopoli kekuasaan, ditambah kewenangan bertindak, ditambah adanya kesempatan, dikurangi pertangungjawaban. Jika demikian, menjadi wajar bila korupsi sangat sulit untuk diberantas apalagi dicegah, karena korupsi merupakan salah satu karakter atau sifat negara, sehingga negara = Kekuasaan = Korupsi. Sebagai fenomena pembangunan, korupsi terjadi dalam proses pembangunan yang dilakukan oleh negara atau pemerintah.
Pembangunan seharusnya
merupakan jawaban terhadap permasalahan yang dihadapi negara, terutama negara
yang termasuk dalam kelompok negara berkembang, termasuk Indonesia. Di negara
berkembang yang melakukan pembangunan adalah pemerintah. Pemerintah seharusnya
mengarahkan pembangunan menjadi pemberdayaan masyarakat, sehingga suatu saat
masyarakat memiliki kemauan dan kemampuan memenuhi kebutuhan dan melindungi
kepentingan sendiri. Ketidakberdayaan masyarakat sering dijadikan alasan untuk
membantu, bentuk dan jenis bantuan dijadikan proyek, disini pula menjadi sumber
korupsi.
Korupsi sebagai fenomena sosial, dalam hal ini korupsi terjadi dalam hubungan interaksi atau transaksi antara pemerintah dengan masyarakat, antara pemerintah dengan pemerintah, antara masyarakat dengan masyarakat. Sebagai fenomena sosial budaya, korupsi dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok : pertama kesepakan gelap (kolusi), kedua upaya menembus kemacetan atau hambatan yang disebabkan peraturan atau oknum, dan ketiga menhgindari tanggung jawab dan berupaya agar lepas dari jeratan hukum, misalnya sogok, hadiah, uang pelican, mensponsori suatu kegiatan tertentu dengan maksud mendapatkan yang bernilai lebih, atau sering dikenal dengan "ada udang dibalik batu", dll.
Korupsi sebagai fenomena budaya, dapat difahami bahwa korupsi terjadi karena sudah menjadi kebiasaan/perilaku yang dibangun berdasarkan nilai-nilai yang diketahui, difahami dan diyakini seseorang atau sekelompok orang. Nilai-nilai tersebut dibangun melalui proses sosialisasi dan internalisasi yang sistematis. Proses tersebut terjadi dalam lingkup pendidikan.
Korupsi sebagai fenomena sosial, dalam hal ini korupsi terjadi dalam hubungan interaksi atau transaksi antara pemerintah dengan masyarakat, antara pemerintah dengan pemerintah, antara masyarakat dengan masyarakat. Sebagai fenomena sosial budaya, korupsi dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok : pertama kesepakan gelap (kolusi), kedua upaya menembus kemacetan atau hambatan yang disebabkan peraturan atau oknum, dan ketiga menhgindari tanggung jawab dan berupaya agar lepas dari jeratan hukum, misalnya sogok, hadiah, uang pelican, mensponsori suatu kegiatan tertentu dengan maksud mendapatkan yang bernilai lebih, atau sering dikenal dengan "ada udang dibalik batu", dll.
Korupsi sebagai fenomena budaya, dapat difahami bahwa korupsi terjadi karena sudah menjadi kebiasaan/perilaku yang dibangun berdasarkan nilai-nilai yang diketahui, difahami dan diyakini seseorang atau sekelompok orang. Nilai-nilai tersebut dibangun melalui proses sosialisasi dan internalisasi yang sistematis. Proses tersebut terjadi dalam lingkup pendidikan.
Oleh karena itu,
kami memahami bahwa suatu kebiasaan harus dimulai dari merubah mindset atau
pola pikir, atau paradigma, kemudian membentuk perilaku berulang yang coba-coba
dan akhirnya menjadi kebiasaan. Sosialisasi dan internalisasi nilai anti
korupsi tersebut dilakukan kepada seluruh komponen masyarakat dan aparatur
pemerintah di pusat dan daerah, lembaga tinggi Negara, BUMN, BUMD, sehingga
nilai sosial anti korupsi/Budaya Anti Korupsi (BAK) menjadi gerakan nasional
dan menjadi kebiasaan hidup seluruh komponen bangsa Indonesia, menuju kehidupan
yang adil makmur dan sejahtera.
1.2
Alasan Pemilihan Judul
Korupsi
merupakan satu persoalan bangsa yang hingga kini tetap menjadi prioritas utama
untuk memberantasnya. Berbagai upaya telah dilakukan baik oleh pemerintah
maupun non-pemerintah. Namun upaya dari semua itu tetap belum menunjukkan hasil
yang signifikan. Bahkan boleh dibilang korupsi terus saja mengganas.
Sampai-sampai timbul rasa pesimis bahwa pemberantasan korupsi merupakan sesuatu
yang mustahil. Ungkapan-ungkapan seperti bahwa korupsi di negara ini tak
ubahnya virus yang terus berkembang serta menjalar tanpa bisa lagi terdeteksi,
kondisi korupsi saat ini sudah memasuki “keadaan tidak berpengharapan”, atau
negara dalam keadaan “darurat korupsi” adalah cermin dari rasa pesimisme itu.
Oleh karena itu pemberantasan korupsi di Indonesia sangatlah penting mengingat
Indonesia masuk dalam Negara terkorup di dunia. Untuk itu penulis memilih
judul: ‘Pemberantasan Korupsi di
Indonesia’
1.3
Batasan
Masalah
Dari latar
belakang di atas, maka batasan masalahnya adalah sebagai berikut :
Ø Kebijakan
Pemerintah Dalam Pemberantasan Korupsi
Ø Peran Serta Pemerintah dalam Memberantas Korupsi
Ø Peran Serta Mayarakat Dalam Upaya Pemberantasan Korupsi Di Indonesia
Ø Upaya – upaya yang harus di lakukan dalam pemberantasan korupsi di
indonesia
Ø Kendala/hambatan-hambatan apa saja yang dihadapi dalam pemberantasan
korupsi di
Indonesia
Ø Upaya-upaya apa saja yang harus dilakukan dalam memberantas korupsi di
Indonesia
1.4
Tujuan
Tujuan dari pembuatan malakah ini
adalah untuk mensosialisasikan apa itu korupsi, dan bagaimana korupsi itu
terjadi di Indonesia, serta bagaimana upaya dalam pemberantasan masalah
terbesar Negara ini . diharapkan dari pembuatan makalah ini kita lebih mengerti
bagaimana upaya pemerintah dalam memerangi korupsi di negri ini . kita pun
dapat sedikit berpartisipasi memberantasi korupsi setelah kita mengerti dengan
jelas korupsi di Indonesia .
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Asal Kata dan Pengertian Korupsi
Korupsi berasal
dari bahasa Latin : corruptio dari kata kerja corrumpere yang
bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok . Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik
politikus politisi maupun pegawai
negeri, yang secara tidak wajar
dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya,
dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
Meskipun kata corruption itu luas
sekali artinya,namun sering corruptio dipersamakan artinya dengan penyuapan
seperti disebut dalam ensiklopedia Grote Winkler Prins (1977).
PP Pengganti UU Nomor 24 Tahun
1960, mengartikan korupsi sebagai "tindakan seseorang yang dengan atau
karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan
keuangan atau perekonomian negara dan daerah atau merugikan keuangan suatu
badan hukum lain yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah atau
badan hukum lain yang memergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari
Negara atau masyarakat", dst.
Kemudian Robert Klitgaard dalam
bukunya Controlling Corruption (1998), mendefinisikan korupsi sebagai
"tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan Negara
karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan,
keluarga dekat, kelompok sendiri); atau untuk melanggar aturan-aturan pelaksanaan
beberapa tingkah laku pribadi". Kemudian secara singkat Komberly Ann
Elliott dalam Corruption and The GlobalEconomy menyajikan definisi korupsi,
yaitu "menyalahgunakan jabatan pemerintahan untuk keuntungan
pribadi".
Menurut pasal 25
(penghabisan) perpu nomor 24 tahun 1960 ini disebut peraturan pemberantasan
korupsi diatas saya namakan undang undang anti-korupsi
pasal , menentukan bahwa tindak pidana korupsi adalah :
pasal , menentukan bahwa tindak pidana korupsi adalah :
a) Tindaakan
seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran
memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu badan yang secara langsung atau
tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian nergara atau daerah atau
merugikan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan Negara atau daerah
atau badan hukum lain yang mempergunakan modal atau kelonggaran kelonggaran
dari Negara atau masyarakat
b) Perbuatan
seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau badan dan dilakukan dengan menyalahgunakan
jabatan atau kedudukan
c)
Kejahatan-kejahatan tercantum dalam pasal 17-21
peraturan ini dan dalam pasal 209, 210,415, 417, 418, 419, 420, 423, 425, dan
435, kitab undang undang hukum pidana
Dari sudut
pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur
sebagai berikut:
·
penyalahgunaan
kewenangan, kesempatan, atau sarana;
·
memperkaya
diri sendiri, orang lain, atau korporasi;
·
merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara;
Selain itu
terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, di antaranya:
·
memberi atau
menerima hadiah atau janji (penyuapan);
·
penggelapan
dalam jabatan;
·
pemerasan
dalam jabatan;
·
ikut serta
dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);
Dalam arti
yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi
untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah pemerintahan rentan
korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling
ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima
pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik
ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Korupsi yang
muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat,
terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal
seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu
sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini
dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan
kriminalitas kejahatan. Tergantung dari negaranya atau wilayah
hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi atau tidak. Sebagai
contoh, pendanaan partai
politik ada yang legal di satu
tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain.
2.2 Gambaran umum tentang korupsi di
Indonesia Dan Jenis – Jenis Korupsi
Korupsi di Indonsia dimulai sejak
era Orde Lama sekitar tahun 1960-an bahkan sangat mungkin pada tahun-tahun
sebelumnya. Pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 24 Prp 1960 yang diikuti
dengan dilaksanakannya “Operasi Budhi” dan Pembentukan Tim Pemberantasan
Korupsi berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 228 Tahun 1967 yang dipimpin
langsung oleh Jaksa Agung, belum membuahkan hasil nyata.
Pada era Orde Baru, muncul
Undang-Undang Nomor3 Tahun 1971 dengan “Operasi Tertib”yang dilakukan Komando
Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), namun dengan kemajuan
iptek, modus operandi korupsi semakin canggih dan rumit sehingga Undang-Undang
tersebut gagal dilaksanakan. Selanjutnya dikeluarkan kembali Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999.
Upaya-upaya hukum yang telah
dilakukan pemerintah sebenarnya sudah cukup banyak dan sistematis. Namun
korupsi di Indonesia semakin banyak sejak akhir 1997 saat negara mengalami
krisis politik, sosial, kepemimpinan, dan kepercayaan yang pada akhirnya
menjadi krisis multidimensi. Gerakan reformasi yang menumbangkan rezim Orde
Baru menuntut antara lain ditegakkannya supremasi hukum dan pemberantasan
Korupsi, Kolusi & Nepotisme (KKN). Tuntutan tersebut akhirnya dituangkan di
dalam Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 & Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999
tentang Penye-lenggaraan Negara yang Bersih & Bebas dari KKN.
Menurut UU. No. 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ada tiga puluh jenis tindakan yang
bisa dikategorikan sebagai tindak korupsi. Namun secara ringkas
tindakan-tindakan itu bisa dikelompokkan menjadi:
1. Kerugian keuntungan Negara
2. Suap-menyuap (istilah lain : sogokan atau pelicin)
3. Penggelapan dalam jabatan
4. Pemerasan
5. Perbuatan curang
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan
7. Gratifikasi (istilah lain : pemberian hadiah).
2.3 Faktor Pendorong
Terjadinya Korupsi di Indonesia
·
Konsentrasi kekuasan di pengambil keputusan yang
tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di
rezim-rezim yang bukandemokratik.
·
Gaji yang masih rendah, kurang sempurnanya
peraturan perundang-undangan, administrasi yang lamban dan sebagainya.
Sikap mental para pegawai yang ingin cepat
kaya dengan cara yang haram, tidak ada kesadaran bernegara, tidak ada
pengetahuan pada bidang pekerjaan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah.
·
Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan
pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal.
·
Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah
besar.
·
Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri
dan jaringan "teman lama".
·
Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil.
mengenai kurangnya gaji atau
pendapatan pegawai negeri dibanding dengan kebutuhan hidup yang makin hari
makin meningkat pernah di kupas oleh B Soedarsono yang menyatakan antara lain
" pada umumnya orang menghubung-hubungkan tumbuh suburnya korupsi sebab
yang paling gampang dihubungkan adalah kurangnya gaji
pejabat-pejabat....." namun B Soedarsono juga sadar bahwa hal tersebut
tidaklah mutlak karena banyaknya faktor yang bekerja dan saling memengaruhi
satu sama lain. Kurangnya gaji bukanlah faktor yang paling menentukan,
orang-orang yang berkecukupan banyak yang melakukan korupsi. Namun demikian
kurangnya gaji dan pendapatan pegawai negeri memang faktor yang paling menonjol
dalam arti merata dan meluasnya korupsi di Indonesia, hal ini dikemukakan oleh
Guy J Parker dalam tulisannya berjudul "Indonesia 1979: The Record of
three decades (Asia Survey Vol. XX No. 2, 1980 : 123). Begitu pula
J.W Schoorl mengatakan bahwa " di Indonesia di bagian pertama tahun 1960
situasi begitu merosot sehingga untuk sebagian besar golongan dari pegawai,
gaji sebulan hanya sekadar cukup untuk makan selama dua minggu. Dapat dipahami
bahwa dalam situasi demikian memaksa para pegawai mencari tambahan dan banyak
diantaranya mereka mendapatkan dengan meminta uang ekstra untuk pelayanan yang
diberikan". ( Sumber buku "Pemberantasan Korupsi karya Andi Hamzah,
2007)
·
Rakyat yang cuek, tidak tertarik, atau
mudah dibohongi yang gagal memberikan
perhatian yang cukup ke pemilihan
umum.
·
Ketidakadaannya kontrol yang cukup untuk mencegah
penyuapan atau "sumbangan
kampanye".
BAB III
PERMASALAHAN
3.1 Kinerja
pemerintah dalam pemberantasan korupsi belum maksimal
Kinerja pemerintah
dalam pemberantasan kasus korupsi masih belum maksimal. Dalam lima tahun
terakhir, masih banyak ditemukan kebijakan yang justru melemahkan upaya
pemberantasan korupsi. Dengan kata lain, prestasi eksekutif di bawah
kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK) dalam memberantas
korupsi masih jauh dari ekspektasi publik.
Tidak sedikit
kebijakan pemerintah yang justru menggembosi langkah pemberantasan korupsi itu
sendiri. Lihat saja dari pernyataan yang dikeluarkan oleh Presiden SBY mengenai
kewenangan KPK yang dianggapnya terlalu besar, upaya BPKP mengaudit KPK, serta
rivalitas KPK vs Polri, terang Zainal Arifin Mochtar, Ketua Pusat Kajian Anti
Korupsi (PUKAT) Fakultas Hukum (FH) UGM .
selain adanya upaya
melemahkan KPK oleh pemerintah, masih terdapat beberapa catatan atas kebijakan
pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi selama lima tahun terakhir.
Pertama, kebijakan Presiden yang berdampak pada pemberantasan korupsi, antara
lain, Inpres No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, Keppres
No. 11 Tahun 2005 tentang Pembentukan Timtas Tipikor, dan PP No. 37 Tahun 2006
tentang Kenaikan Tunjangan Anggota DPRD.
Inpres No. 5 Tahun
2004 dan Keppres No. 11 Tahun 2005, merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas
pemberantasan korupsi. Namun dalam pelaksanaan, keduanya tidak berjalan efektif
dan masih meninggalkan banyak catatan. Sementara itu, PP No. 37 Tahun 2006
justru merupakan blunder kebijakan yang ditempuh pemerintah. Dengan keluarnya
PP tersebut, potensi terjadinya gejala korupsi, khususnya bagi anggota DPRD,
menjadi semakin besar. Kedua, peran pemerintah dalam pembentukan undang-undang
anti korupsi. Dalam penyusunan RUU Pengadilan Tipikor, pemerintah terbukti
lamban. Selain itu, juga pada UU No. 3 Tahun 2009 tentang MA. Komitmen
pemerintah dalam hal ini patut dipertanyakan sebab isu paling krusial tentang
perpanjangan usia hakim agung justru diusulkan oleh pemerintah.
Terakhir,
penyelesaian adat atas dugaan kasus korupsi. Setidak-tidaknya terdapat dua
kasus yang disoroti, yakni kasus Amien Rais vs Presiden SBY dan Yusril Ihza
Mahendra vs Taufiequrrahman Ruki. Dalam konteks ini, Presiden terlihat
mengintervensi proses hukum yang semestinya dapat dijalankan sesuai dengan
prosedur.
Ditambahkan oleh
Eddy O.S. Hiariej, staf pengajar FH UGM yang juga anggota Pukat, bahwa dari
keseluruhan hal tersebut seolah-olah menjadi antitesis terkait dengan
keseriusan pemerintah dalam mendukung gerakan anti korupsi. Jargon-jargon yang
selama ini diserukan tampaknya masih jauh dari implementasi .
3.2 Issu Kasus Korupsi
Dalam makalah ini saya akan mencoba menghadirkan satu contoh kasus yaitu
kasus yang dialami oleh Aulia Tantowi
Pohan atau yang lebih dikenal dengan Aulia Pohan.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berhasil mengusut kasus korupsi untuk
kesekian kalinya. Mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia, Aulia Pohan tersandung
dakwaan kasus korupsi. Aulia Pohan dianggap melakukan penyalahgunaan dana
Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) senilai Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Dalam kasus ini
menyeret pula beberapa nama yaitu Maman H. Soemantri, Bunbunan E.J. Hutapea dan
Aslim Tadjudin . Terjadi pro dan kontra dalam kasus ini, dikarenakan menurut
pemberitaan Aulia Pohan tidak ikut memakan hasil korupsi tersebut sedangkan
disisi lain Aulia Pohan bersalah karena memiliki ide tersebut.
Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) akhirnya mengganjar
besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu dengan pidana 4,5 tahun penjara.
Sama hal nya dengan rekan – rekannya yang mendapatkan hukuman penjara 4 hingga
4,5 tahun penjara serta denda masing-masing Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah). Dalam putusan itu, majelis hakim sesungguhnya tidak kompak. Empat
hakim, yakni Edward Patinasarani, Anwar, Hendra Yospin, dan Slamet Subagyo
menilai bahwa Aulia Pohan bersama dengan rekan – rekannya dinilai terbukti
bersalah dengan dakwaan primer yang melanggar Pasal 2 (1) UU Pemberantasan
Tipikor dan melanggar pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Hakim Hendra Yospin, anggota
majelis yang lain, menilai Aulia Pohan bersama dengan rekan – rekannya telah menyetujui
pencairan dana Rp 100 miliar itu di luar sistem anggaran.
Pada saat peringatan HUT RI ke-65, 17 Agustus 2010 lalu Aulia Pohan bersama dengan rekan – rekannya mendapat remisi. Dia bersama dengan tiga terpidana korupsi aliran
dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) Bank Indonesia menerima
pengurangan hukuman selama tiga bulan. Usai menerima remisi, sejak 18 Agustus
2010 Aulia Pohan bersama dengan rekan – rekannya resmi bebas bersyarat. Seperti yang diungkapkan Menteri Hukum dan
HAM, Patrialis Akbar, “Dia sudah boleh pulang ke rumah, tapi tidak boleh kemana
- mana sampai masa tahanannya berakhir. Untuk bebas bersyarat, syaratnya harus
juga sudah membayar semua denda kepada negara.” Pembebasan bersyarat itu
diterima Aulia setelah dia menjalani dua pertiga masa tahanan. Aulia Pohan
ditahan sejak 27 November 2008. Sebelumnya, Mahkamah Agung telah mengurangi
hukuman Aulia Pohan dari empat tahun menjadi tiga tahun penjara
3.3
Analisis Pelanggaran Hukum, Nilai, Norma Dan Etika
A.
PELANGGARAN BERDASARKAN DENGAN HUKUM MATERIL
Hukum
materil adalah mengatur tentang apa siapa dan bagaimana orang dapat dihukum.
Dalam contoh kasus ini Aulia Pohan terbukti bersalah karena melanggar pasal 2
ayat 1 UU pemberantasan tipikor yang berbunyi Setiap orang yang secara melawan
hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi
yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah). Dan melanggar pasal 3 UU pemberantasan tipikor yang berisi Setiap
orang yang dengan sengaja menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
B. PELANGGARAN BERDASARKAN DENGAN HUKUM
PIDANA
Hukum pidana adalah hukum yang mengatur
tentang pelanggaran – pelanggaran dan kejahatan – kejahatan terhadap
kepentingan umum. Kasus Aulia Pohan termasuk dalam peanggaran hukum pidana
bukan pelanggaran hukum perdata. Karena Aulia Pohan telah melanggar kepentingan
umum yaitu merugikan keunangan negara.
C. PELANGGARAN NILAI DAN NORMA
Nilai adalah suatu sifat atau kualitas
yang melekat pada suatu objek, bukan objek itu sendiri. Sesuatu yang mengandung
nilai artinya ada sifat atau kualitas yang melekat pada sesuatu itu. Sedangkan
norma adalah wujud yang kongkrit dalam tingkah laku untuk memberikan penilaian
tersebut. Dalam kasus ini Aulia Pohan telah melakukan pelanggaran terhadap
nilai – nilai dan norma – norma kejujuran.
D. PELANGGARAN ETIKA
Etika adalah suatu sikap yang membahas
tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu
ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang
bertanggung jawab berhadapan dengan ajaran moral. Dalam kasus ini, Aulia Pohan
telah melakukan pelanggaran etika dalam pekerjaan. Aulia Pohan melanggar kode
etik pekerjaan, yaitu melakukan suatu pekerjaan diluar kewenangannya.
3.4 Analisis
Kasus Dari Berbagai Perspektif
1. Sosiologi Hukum
Sosiologi hukum adalah suatu cabang
ilmu pengetahuan yang secara emipiris dan analitis mempelajari hubungan tibal
balik antara hukum sebagai gejala sosial dan gejala-gejala sosial lainyya.
Sosiologi hukum juga memperjelas praktik-praktik hukum.
Dalam makalah ini, Aulia Pohan terbukti menuangkan
suatu ide dalam penyalahgunaan sana YPPI. Hal tersebut melanggar pasal 2 ayat 1
UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan pasal 3 UU Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Meski hasil korupsi tersebut tidak satu rupiahpun Aulia nikmati
namun Aulia Pohan telah memperkaya orang lain dengan penyalahgunaan dana tersebut.
Apa yang dilakukan Aulia dan kawan-kawan telah merugikan uang negara.
2. Ekonomi Hukum
Ekonomi hukum adalah suatu ilmu yang
dapat digunakan dalam hukum untuk mengetahui ada tidaknya kerugian terhadap
keuangan negara. Kasus Aulia Pohan merupakan kasus korupsi, maka ilmu
ekonomilah yang snagat membantu dalam proses pembuktiannya. Aulia pohan telah
merugikan uang negara sebesar 100 Milyar rupiah.
3. Politik Hukum
Suatu proses politik dalam hukum mampu
melenyapkan ketegangan-ketegangan yang ada dalam masyarakat. Aura politis ada
dalam penyalahgunaan dana YPPI yang menyeret Aulia Pohan ke meja hukum. Aulia
dan kawan-kawan bekerjasama dalam pencairan dana tersebut. Pembebasan Aulia
Pohan juga diduga mengandung unsur politik. Karena Auloia Pohan merupakan besan
seorang presiden yang artinya bebasnya Aulia merupakan penyembuhan nama baik
seorang presiden beserta partain ya. Sehingga Aulia dapat bebas lebih cepat
dari waktu hukuman yang di tetapkan hakim.
BAB 1V
PEMBAHASAN
4.1 Kebijakan Pemerintah Dalam Pemberantasan Korupsi
Mewujudkan
keseriusan pemerintah dalam upaya memberantas korupsi, Telah di keluarkan
berbagai kebijakan. Di awali dengan penetapan anti korupsi sedunia oleh PBB
pada tanggal 9 Desember 2004, Presiden susilo Budiyono telah mengeluarkan
instruksi Presiden Nomor 5tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi,
yang menginstruksikan secara khusus Kepada Jalsa Agung Dan kapolri:
1. Mengoptimalkan upaya – upaya penyidikan/Penuntutan
terhadap tindak pidana korupsi untuk menghukum pelaku dan menelamatkan uang
negara.
2. Mencegan & memberikan sanksi tegas terhadap
penyalah gunaan wewenang yg di lakukan oleh jaksa (Penuntut Umum)/ Anggota
polri dalam rangka penegakan hukum.
3. Meningkatkan Kerjasama antara kejaksaan dgn
kepolisian Negara RI, selain denagan BPKP,PPATK,dan intitusi Negara yang
terkait denagn upaya penegakan hukum dan pengembalian kerugian keuangan negara
akibat tindak pidana korupsi.
Kebijakan
selanjutnya adalah menetapkan Rencana aksi nasional Pemberantasan Korupsi
(RAN-PK) 2004-2009. Langkag – langkah pencegahan dalam RAN-PK di prioritaskan
pada:
1. Mendesain ulang layanan publik .
2. Memperkuat transparasi, pengawasan, dan sanksi pada
kegiatan pemerintah yg berhubungan Ekonomi dan sumber daya manusia.
3. Meningkatkan pemberdayaan pangkat – pangkat
pendukung dalam pencegahan korupsi.
4.2 Peran
Serta Pemerintah Dalam Memberantas Korupsi:
Partisipasi dan
dukungan dari masyarakat sangat dibutuhkan dalam mengawali upaya-upaya pemerintah
melalui KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan aparat hukum lain.
KPK yang ditetapkan
melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi untuk mengatasi, menanggulangi, dan memberan-tas korupsi,
merupakan komisi independen yang diharapkan mampu menjadi “martir” bagi para
pelaku tindak KKN.
Adapun agenda KPK adalah sebagai berikut :
1. Membangun kultur yang mendukung pemberantasan
korupsi.
2. Mendorong pemerintah melakukan reformasi public
sector dengan mewujudkan good
governance.
3. Membangun kepercayaan masyarakat.
4. Mewujudkan keberhasilan penindakan terhadap pelaku
korupsi besar.
5. Memacu aparat hukum lain untuk memberantas korupsi.
4.3 Peran
serta mayarakat dalam upaya pemberantasan korupsi di indonesia:
Bentuk – bentuk
peran serta mayarakat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi menurut UU No.
31 tahun 1999 antara lain adalah SBB :
1. Hak Mencari, memperoleh, dan memberikan informasi
adanya dugaan tindak pidana korupsi
2. Hak untuk memperoleh layanan dalam mencari,
memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah tindak pidana korupsi
kepada penegak hukum
3. Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung
jawab kpada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi
4. Hak memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang
laporan yg di berikan kepada penegak hukum waktu paling lama 30 hari
5. Hak untuk memperoleh perlindungan hukum
6. Penghargaan pemerintah kepada mayarakat
4.4 Upaya yang dapat ditempuh dalam
pemberantasan korupsi:
Ada beberapa upaya
yang dapat ditempuh dalam memberantas tindak korupsi di Indone-sia, antara lain
sebagai berikut :
1. Upaya Pencegahan (Preventif)
a) Menanamkan
semangat nasional yang positif dengan mengutamakan pengabdian pada bangsa dan
negara melalui pendidikan formal, informal dan agama.
b) Melakukan penerimaan pegawai berdasarkan prinsip
keterampilan teknis.
c) Para pejabat dihimbau untuk mematuhi pola hidup
sederhana dan memiliki tang-gung jawab yang tinggi.
d) Para pegawai selalu diusahakan kesejahteraan yang
memadai dan ada jaminan masa tua.
e) Menciptakan aparatur pemerintahan yang jujur dan
disiplin kerja yang tinggi.
f) Sistem keuangan dikelola oleh para pejabat yang
memiliki tanggung jawab etis tinggi dan dibarengi sistem kontrol yang efisien.
g) Melakukan pencatatan ulang terhadap kekayaan
pejabat yang mencolok.
h) Berusaha melakukan reorganisasi dan rasionalisasi
organisasi pemerintahan mela-lui penyederhanaan jumlah departemen beserta
jawatan di bawahnya.
2. Upaya Penindakan (Kuratif):
Upaya
penindakan, yaitu dilakukan kepada mereka yang terbukti melanggar dengan
dibe-rikan peringatan, dilakukan pemecatan tidak terhormat dan dihukum
pidana. Beberapa contoh penindakan yang dilakukan oleh KPK
:
a) Dugaan korupsi dalam pengadaan Helikopter jenis
MI-2 Merk Ple Rostov Rusia milik Pemda NAD (2004).
b) Menahan Konsul Jenderal RI di Johor Baru, Malaysia,
EM. Ia diduga melekukan pungutan liar dalam pengurusan dokumen keimigrasian.
c) Dugaan korupsi dalam Proyek Program Pengadaan
Busway pada Pemda DKI Jakarta (2004).
d) Dugaan penyalahgunaan jabatan dalam pembelian tanah
yang merugikan keuang-an negara Rp 10 milyar lebih (2004).
e) Dugaan korupsi pada penyalahgunaan
fasilitas preshipment dan placement deposito dari BI kepada
PT Texmaco Group melalui BNI (2004).
f) Kasus korupsi dan penyuapan anggota KPU kepada tim audit
BPK (2005).
g) Kasus penyuapan panitera Pengadilan Tinggi Jakarta
(2005).
h) Kasus penyuapan Hakim Agung MA dalam perkara
Probosutedjo.
i) Menetapkan seorang bupati di Kalimantan Timur
sebagai tersangka dalam kasus korupsi
Bandara Loa Kolu yang diperkirakan
merugikan negara sebesar Rp 15,9 miliar (2004).
j) Kasus korupsi di KBRI Malaysia (2005).
3. Upaya Edukasi Masyarakat/Mahasiswa:
a) Memiliki tanggung jawab guna melakukan partisipasi
politik dan kontrol sosial terkait dengan kepentingan publik.
b) Tidak bersikap apatis dan acuh tak acuh.
c) Melakukan kontrol sosial pada setiap kebijakan
mulai dari pemerintahan desa hingga ke tingkat pusat/nasional.
d) Membuka wawasan seluas-luasnya pemahaman tentang
penyelenggaraan peme-rintahan negara dan aspek-aspek hukumnya.
e) Mampu
memposisikan diri sebagai subjek pembangunan dan berperan aktif dalam setiap
pengambilan keputusan untuk kepentingan masyarakat luas
4. Upaya Edukasi
LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat):
a) Indonesia Corruption Watch (ICW) adalah organisasi
non-pemerintah yang meng-awasi dan melaporkan kepada publik mengenai korupsi di
Indonesia dan terdiri dari sekumpulan orang yang memiliki komitmen untuk
memberantas korupsi me-lalui usaha pemberdayaan rakyat untuk terlibat melawan
praktik korupsi. ICW la-hir di Jakarta pd tgl 21 Juni 1998 di tengah-tengah
gerakan reformasi yang meng-hendaki pemerintahan pasca-Soeharto yg bebas
korupsi.
b) Transparency International (TI) adalah organisasi
internasional yang bertujuan memerangi korupsi politik dan didirikan di Jerman
sebagai organisasi nirlaba se-karang menjadi organisasi non-pemerintah yang
bergerak menuju organisasi yang demokratik. Publikasi tahunan oleh TI yang
terkenal adalah Laporan Korupsi Global. Survei TI Indonesia yang membentuk
Indeks Persepsi Korupsi (IPK) In-donesia 2004 menyatakan bahwa Jakarta sebagai
kota terkorup di Indonesia, disu-sul Surabaya, Medan, Semarang dan Batam.
Sedangkan survei TI pada 2005, In-donesia berada di posisi keenam negara
terkorup di dunia. IPK Indonesia adalah 2,2 sejajar dengan Azerbaijan, Kamerun,
Etiopia, Irak, Libya dan Usbekistan, ser-ta hanya lebih baik dari Kongo, Kenya,
Pakistan, Paraguay, Somalia, Sudan, Angola, Nigeria, Haiti &
Myanmar. Sedangkan Islandia adalah negara terbebas dari korupsi.
4.5 Kendala-Kendala Yang Dihadapi Dalam
Pemberantasan Korupsi di Indonesia
Korupsi dapat
terjadi di negara maju maupun negara berkembang seperti Indonesia. Adapun hasil
analisis penulis dari beberapa teori dan kejadian di lapangan, ternyata
hambatan/kendala-kendala yang dihadapi Bangsa Indonesia dalam meredam korupsi
antara lain adalah :
1. Penegakan hukum yang tidak konsisten dan cenderung
setengah-setengah.
2. Struktur birokrasi yang berorientasi ke atas,
termasuk perbaikan birokrasi yang cenderung terjebak perbaikan renumerasi tanpa
membenahi struktur dan kultur.
3. Kurang optimalnya fungsi komponen-komponen pengawas
atau pengontrol, sehingga tidak ada check and balance.
4. Banyaknya celah/lubang-lubang yang dapat dimasuki
tindakan korupsi pada sistem politik dan sistem administrasi negara Indonesia.
5. Kesulitan dalam menempatkan atau merumuskan
perkara, sehingga dari contoh-contoh kasus yang terjadi para pelaku korupsi
begitu gampang mengelak dari tuduhan yang diajukan oleh jaksa.
6. Taktik-taktik koruptor untuk mengelabui aparat
pemeriksa, masyarakat, dan negara yang semakin canggih.
7. Kurang kokohnya landasan moral untuk mengendalikan
diri dalam menjalankan amanah yang diemban.
4.6 Upaya-upaya yang harus dilakukan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia
1. Dengan memperhatikan faktor-faktor yang menjadi
penyebab korupsi dan hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pemberantasannya,
dapatlah dikemukakan beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk menangkalnya,
yakni :
2. Menegakkan hukum secara adil dan konsisten sesuai
dengan peraturan perundang-undangan dan norma-norma lainnya yang berlaku.
3. Menciptakan kondisi birokrasi yang ramping struktur
dan kaya fungsi. Penambahan/rekruitmen pegawai sesuai dengan kualifikasi
tingkat kebutuhan, baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
4. Optimalisasi fungsi pengawasan atau kontrol,
sehingga komponen-komponen tersebut betul-betul melaksanakan pengawasan secara
programatis dan sistematis.
5. Mendayagunakan segenap suprastruktur politik maupun
infrastruktur politik dan pada saat yang sama membenahi birokrasi sehingga
lubang-lubang yang dapat dimasuki tindakan-tindakan korup dapat ditutup.
6. Adanya penjabaran rumusan perundang-undangan yang
jelas, sehingga tidak menyebabkan kekaburan atau perbedaan persepsi diantara
para penegak hukum dalam menangani kasus korupsi.
7. Semua elemen (aparatur negara, masyarakat,
akademisi, wartawan) harus memiliki idealisme, keberanian untuk mengungkap
penyimpangan-penyimpangan secara objektif, jujur, kritis terhadap tatanan yang
ada disertai dengan keyakinan penuh terhadap prinsip-prinsip keadilan.
8. Melakukan pembinaan mental dan moral manusia
melalui khotbah-khotbah, ceramah atau penyuluhan di bidang keagamaan, etika dan
hukum. Karena bagaimanapun juga baiknya suatu sistem, jika memang
individu-individu di dalamnya tidak dijiwai oleh nilai-nilai kejujuran dan
harkat kemanusiaan, niscaya sistem tersebut akan dapat disalahgunakan,
diselewengkan atau dikorup.
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Tindakan seseorang yang dengan
atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung
merugikan keuangan atau perekonomian Negara dan daerah atau merugikan keuangan
suatu badan hukum lain yang menerima bantuan dari keuangan Negara atau daerah
atau badan hukum lain yang memergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari
Negara atau masyarakat .
Korupsi membawa banyak sekali
pengaruh negatif yang berdampak langsung terhadap kehidupan masyarakat, antara
lain dampaknya terhadap demokrasi, terhadap perekonomian negara, dan tentu saja
terhadap kesejahteraan umum negri ini . banyak sekali contoh-contoh kasus
tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia . korupsi di Indonesia
difahami sebagai perilaku pejabat dan atau organisasi (Negara) yang melakukan
pelanggaran, dan penyimpangan terhadap norma-norma atau peraturan-peraturan
yang ada.
Sebagai fenomena pembangunan,
korupsi terjadi dalam proses pembangunan yang dilakukan oleh negara atau
pemerintah. Setiap tindak pidana korupsi baik dalam bentuk penyogok atau
sebagai penerima sogok akan dikenai sanksi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku tentang tindak pidana korupsi .
Sejauh ini pemerintah terus
melakukan upaya dalam memberantas korupsi . salah satunya adalah dengan
membentuk lembaga pemberantasan korupsi yang saat ini dikenal dengan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) . selain itu pemerintah juga memanfaatkan
kemajuan teknologi informasi dan komunikasi sebagai alat dalam membantu upaya
pemberantasan korupsi di negeri ini . namun hal ini tidak akan sempurna tanpa
adanya dukungan dari komponen utama dan terbesar yaitu masyarakat umum .
Untuk itu sebenarnya usaha yang
paling efektif untuk memerngi korupsi di Indonesia adalah kerja sama yang baik
antara pemerintah dengan masyarakat umum . Selain itu peningkatan kualitas
sumber daya manusia (SDM) akan meminimalisir trejadinya tindak pidana korupsi .
Hukum yang tegas juga diperlukan
untuk menjerat para ”tikus berdasi “ini yang mencuri hak
rakyat . Kombinasi
antara semua aspek yang telah disebutkan di atas adalah upaya sempurna dalam
memerangi masalah korupsi di indonesia .
5.2 Saran
a. Perlu dikaji lebih dalam lagi
tentang teori upaya pemberantasan korupsi di Indonesia agar mendapat informasi
yang lebih akurat.
b. Diharapkan para pembaca
setelah membaca makalah ini mampu mengaplikasikannya di dalam kehidupan
sehari-hari.
Daftar
Pustaka
Budiyanto, Drs. MM. 2006. Pendidikan
Kewarganegaraan untuk SMA Kelas X. Jakarta: Erlangga
Dikoro wirdjono
projo,(2005),tindak pidana tertentu di Indonesia, Jakarta,PT Raja
Grafindo Pesada
Gie. 2002. Pemberantasan Korupsi Untuk Meraih Kemandirian, Kemakmuran,
Kesejahteraan dan Keadilan
Hamzah jur andi,(2005), pemberantasan korupsi, Jakarta,PT
Raja Grafindo Persada
UU No. 20 Tahun
2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
ARTIKEL NYA sangat membantuuu,,, Izin copass hee
BalasHapus